BANGGAI – Di tengah kenaikan harga ikan yang terus merangkak, warga Kabupaten Banggai punya cara tersendiri untuk tetap memenuhi kebutuhan protein harian. Mereka beralih ke kerang kijing, yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai tuwe atau kalantude.
Kerang ini sudah lama akrab di lidah warga pesisir Banggai. Rasanya gurih dan mudah diolah, membuatnya menjadi alternatif pengganti ikan yang semakin digemari. Di pasar tradisional, tuwe biasanya dijual dalam bungkus plastik berukuran 0,5 liter dengan harga Rp10 ribu. Menariknya, yang dijual adalah daging kerang yang telah dipisahkan dari kulitnya, sehingga memudahkan pembeli saat mengolahnya.
Kalantude hidup mengendap di dasar sungai dan perairan payau. Di Sinorang, Batui Selatan, kerang ini dikenal berukuran lebih besar dibandingkan daerah lain, namun yang berukuran kecil justru memiliki rasa lebih gurih.
kalantude
Menariknya, pencarian tuwe juga menjadi aktivitas yang khas. Para pencari biasanya masuk ke lahan bakau, menyusuri lumpur dengan parang di tangan. Mereka menggores permukaan lumpur membentuk tanda silang. Jika ujung parang terasa mengetuk sesuatu, itu pertanda ada cangkang tuwe yang terkubur di dalamnya. Cara tradisional ini telah lama dipraktikkan oleh warga Batui untuk memenuhi kebutuhan dapur maupun menambah penghasilan.
Kerang ini kaya akan nutrisi penting seperti magnesium, zat besi, kalium, dan omega-3 yang bermanfaat untuk kesehatan, termasuk menjaga kepadatan tulang dan mencegah anemia. Bagi warga Batui, area perairan tempat kerang ini diambil relatif aman dari kontaminasi, sehingga kerang yang dijual terbilang layak konsumsi.
Selain menjadi pengganti ikan di meja makan, tuwe juga menjadi peluang ekonomi. Warga memanfaatkan hutan bakau dan lahan bekas empang untuk mencari kerang ini, menjadikannya pekerjaan sampingan yang menambah penghasilan keluarga.
Dalam olahan lokal, tuwe dimasak dengan beragam cara: ditumis kecap untuk cita rasa manis-gurih, dimasak kuah bening yang ringan, atau dipadukan dengan santan untuk rasa yang lebih kaya.
