HOME Nostalgia

Ba Coho: Wangi Santan dan Ampas Kelapa di Rambut Orang Tempo Dulu

Lebih dari sekadar ritual perawatan, “ba coho” adalah jejak budaya—warisan kearifan lokal yang mengajarkan bahwa alam selalu punya cara menjaga manusia, sebelum semuanya digantikan oleh pabrik dan botol plastik.

Saiful Yamin
Selasa, 19 Agustus 2025 | 07:48:02 WITA
Ilustrasi buah kelapa. Foto/istock

Di kampung-kampung Sulawesi tempo dulu, ada satu tradisi sederhana yang kini tinggal cerita: “ba coho”—istilah yang digunakan orang Batui untuk menyebut keramas menggunakan santan kelapa.

Era 1970–1980-an, shampo dalam botol masih barang langka. Conditioner bahkan belum dikenal. Yang ada hanyalah pohon kelapa yang tumbuh subur di halaman rumah. Dari buahnya, orang bisa mendapat hampir segala yang dibutuhkan—termasuk “ramuan ajaib” untuk merawat rambut.

Sore hari di Batui, Moilong, Bunta, hingga Balantak, pemandangan ini lumrah: suara anak-anak baru pulang mandi di sungai, sementara dari dapur terdengar gesekan parutan kelapa. Santan kental hasil perasan pertama disimpan dalam mangkuk, lalu dioleskan perlahan ke rambut. Dengan sabar, kulit kepala dipijat hingga terasa dingin, lembap, dan harum kelapa segar.

Ilustrasi

Bukan hanya santannya. Orang tua dulu bahkan memanfaatkan ampas kelapa—bekas parutan yang sudah diperas. Ampas itu ditaburkan di kepala, digosok perlahan, seolah menjadi scrub alami. “Rasanya agak kasar, tapi bikin kulit kepala bersih,” begitu kenangan banyak warga. Setelahnya, rambut dibilas dengan air sungai atau timba di sumur.

Khasiatnya dipercaya manjur: ketombe berkurang, rambut lebih kuat dan hitam berkilau, kulit kepala pun terasa lembut. Ada pula sisi lucu yang tak bisa dilupakan. Kadang, sisa-sisa ampas kelapa masih menempel di rambut hingga membuat teman sebaya tertawa. Belum lagi baunya yang khas—ada yang bilang harum alami, tapi kalau kurang bersih membilasnya bisa jadi agak anyir.

Namun semua itu adalah bagian dari cerita hidup tempo dulu. “Ba coho” bukan sekadar merawat rambut, melainkan bukti kedekatan manusia dengan alam. Pohon kelapa selalu ada, tinggal dipetik, diparut, diperas, lalu dipakai. Murah, mudah, dan diwariskan turun-temurun.

Kini, shampo modern dengan aroma buah tropis menggantikan kebiasaan itu. Generasi muda mungkin hanya mendengar cerita dari orang tua atau kakek-nenek mereka. Tapi bagi yang pernah mengalaminya, “ba coho” adalah nostalgia: tentang sore yang hangat, parutan kelapa di dapur, suara air sungai, dan pijatan lembut ibu di kulit kepala.

Lebih dari sekadar ritual perawatan, “ba coho” adalah jejak budaya—warisan kearifan lokal yang mengajarkan bahwa alam selalu punya cara menjaga manusia, sebelum semuanya digantikan oleh pabrik dan botol plastik.

 

Editorial
Jajak Pendapat

Pemerintah berencana mengkombinasikan iuran BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta bagi keluarga mampu. Apakah Anda setuju kelas khusus BPJS Kesehatan