LUWUK — Kota ini berdiri di antara dua aroma: yang satu datang dari ladang-ladang desa, harum kopi yang baru disangrai; yang lain tersembunyi di lorong-lorong sunyi, getirnya sabu yang menyelinap dari balik jeruji.
Luwuk menyimpan dua wajah. Di satu sisi, ada tangan-tangan petani yang menanam asa lewat biji kopi. Di sisi lain, ada jaringan gelap yang menjadikan kota ini lintasan bisnis haram, bahkan hingga ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Penangkapan LP alias Linda, seorang perempuan muda yang terseret dalam pusaran jaringan narkoba lintas kabupaten, menjadi titik terang yang justru menyinari sisi tergelap kota ini. Dari tangannya, polisi mengamankan hampir setengah kilogram sabu—jumlah yang tak kecil untuk sebuah kota kabupaten. Lebih mengejutkan, penyidik menemukan benang merah yang mengarah ke warga binaan Lapas Luwuk. Narkoba, ternyata, tak lagi takut pada tembok tinggi dan jeruji besi.
Namun, Luwuk bukan hanya tentang luka dan kelam. Di pelosok-pelosok desa, Kopi Oishi lahir dari semangat bertahan. Sebuah nama yang diambil dari bahasa Jepang—berarti “lezat”—bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan gambaran dari rasa yang tumbuh bersama tekad. Di sana, di antara tanah kering dan harapan yang disiram saban pagi, para petani menyemai mimpi akan ekonomi yang berdiri di kaki sendiri. Dari kebun ke cangkir, biji-biji itu disangrai menjadi cita rasa yang menyatukan rasa bangga dan kerja keras.
Sayangnya,
harapan ini masih dibayangi oleh satu persoalan lama yang belum juga pergi: sampah.
Tiap hari, kota ini menghasilkan sekitar 36 ribu ton sampah—dari dapur
rumah, pasar, sekolah, kantor, hingga pertokoan. Sebuah warisan yang terus
berpindah tangan, dari satu kepala daerah ke kepala daerah lain, tanpa pernah
benar-benar selesai. Program moral seperti PINASA (Pia Na Sampah Ala)
sempat menyala di masa kepemimpinan Herwin Yatim dan Mustar Labolo. Tapi
pandemi datang, menghapus kebiasaan baik perlahan-lahan. Work from home,
sekolah daring, dan kesibukan baru membuat PINASA kehilangan denyut. Sampah pun
kembali jadi masalah diam yang menumpuk hari demi hari.
Luwuk, hari ini, seperti kota yang sedang mencari arah. Di antara aroma kopi dan bau busuk sampah, di antara harapan dan keputusasaan, di sanalah wajah aslinya sedang terbentuk.
Simak selengkapnya
Simak selengkapnya
Simak selengkapnya