OLEH : SYAIFUL YAMIN
Pada siang yang terik di Kelurahan Tolando, Kecamatan Batui, Sulawesi Tengah, aroma kopi sangrai menyebar dari sebuah stand kecil dalam gelaran Batui Ekspo. Di balik meja kayu sederhana, Fadly Umar sibuk menyeduh kopi hitam. “Semua dari kebun sendiri, Pak. Dari lereng Kayowa,” ujarnya sembari menyodorkan secangkir kepada tamu, Selasa, 28 November lalu.
Lereng Kayowa yang dimaksud terletak sekitar 15 kilometer dari pusat Kecamatan Batui. Di atas tanah seluas lebih dari satu hektar, Fadly—yang akrab disapa Pali oleh warga setempat—menanam ratusan pohon kopi jenis robusta. Ia mulai merintisnya sejak masih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jepang. Sepulangnya ke kampung halaman, ia membawa pulang lebih dari sekadar modal uang: semangat membangun usaha berbasis desa.
Kini Pali menjalankan Kopi Oishi, usaha skala rumahan yang mengolah biji kopi lokal menjadi bubuk siap seduh. Konsepnya jelas: integrasi dari hulu ke hilir. “Saya yang tanam, panen, sangrai, sampai bungkus,” katanya.
Dalam sehari, Pali bisa memproduksi puluhan bungkus kopi bubuk. Ia dibantu empat hingga enam pekerja lepas. Sebagian besar proses pengolahan masih bersifat tradisional: penjemuran manual, penggilingan sederhana, dan pengemasan tangan. “Sekitar 70 persen masih dikerjakan tanpa mesin besar,” ujar Pali.
Namun ia menghadapi tantangan besar: rantai pasok belum stabil. Meski permintaan pasar mulai terbuka—baik lokal maupun luar daerah—ketersediaan bahan baku terbatas karena minimnya jumlah petani kopi di Batui. “Belum banyak yang tertarik tanam kopi. Jadi produksi belum bisa konsisten,” katanya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan potensi pasar. Kopi lokal dari lereng Kayowa memiliki cita rasa khas: gurih, dengan tingkat keasaman rendah dan aroma tanah basah yang kuat. Pali menolak mengambil pasokan dari luar. “Kalau ambil dari daerah lain, rasa Oishi akan berubah. Ini kopi Batui, harus tetap Batui,” tegasnya.
Meski tergolong UMKM, model bisnis Pali sejatinya mencerminkan ekonomi kreatif berbasis lokal yang potensial. Tapi sejauh ini, dukungan struktural dari pemerintah masih minim. Tak ada skema kemitraan, pembinaan produksi, atau akses peralatan yang memadai.
Pali berharap kunjungan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahudin Uno, pada awal Desember mendatang dalam rangka prosesi adat Mombowa Tumpe di Batui, bisa menjadi pintu masuk untuk perhatian lebih serius. Ia bahkan menyiapkan stand khusus agar bisa memamerkan Kopi Oishi secara langsung. “Mudah-mudahan Pak Menteri datang dan lihat sendiri. Kami butuh dukungan,” ujarnya.
Apa yang dilakukan Pali adalah bentuk grassroots innovation. Tapi tanpa skema pembinaan produksi, akses pembiayaan, atau insentif pasar, dia akan jalan sendiri—lambat atau bahkan mandek.
Sampai hari ini, Kopi Oishi terus diproduksi. Meski belum besar, usaha itu telah membuka lapangan kerja kecil dan menggugah kesadaran warga soal potensi kebun mereka.
Luwuk Masih Pusing Sampah
Dari gerakan moral hingga janji regulasi baru, upaya menjinakkan gunungan sampah di Luwuk terus berputar. Tapi hingga kini, sampah masih menang.
Bisnis Gelap Linda dan Jaring Lapas Luwuk
Penangkapan LP alias Linda menguak kisah kelam peredaran sabu di Banggai, Sulawesi Tengah. Barang haram seberat hampir setengah kilogram itu mengantarnya ke kursi pesakitan—dan membuka tabir keterlibatan warga binaan Lapas.