BATUI - Menjelang sore di muara Kuala Luk Balantang, air pasang mulai surut. Lumpur kecokelatan perlahan terbuka, memperlihatkan jalur-jalur air sempit yang mengalir ke laut. Dari kejauhan, kilatan keperakan tampak berkerlip di permukaan—segerombolan ikan mungil yang bergerak cepat, seolah menari di antara riak kecil. Itulah tandipang, ikan kecil yang sudah ratusan kali melintas di panci-panci dapur Batui.
Bagi orang Batui, tandipang bukan ikan sembarangan. Sejak dulu, jauh sebelum jaring modern dan perahu bermesin menjangkau laut, ikan ini sudah menjadi lauk harian yang dicari. Anak-anak lelaki dulu ikut orang tua menyusuri muara, membawa serok atau jala sederhana. Begitu tandipang terperangkap, riuh suara tawa dan sorak memenuhi udara sore.
Olahannya sederhana, tetapi penuh rasa. Ada kua asam, kuah bening dengan aroma segar dari belimbing wuluh atau perasan lemon, berpadu dengan gurih alami tandipang. Ada pula yang memilih membakar tandipang di atas bara, lalu merendamnya sebentar dalam air lemon yang dibubuhi rica pijit—cabai yang diulek kasar. Hasilnya adalah rasa asam-pedas yang menyegarkan, seakan memanggil ingatan masa kecil.
Habitat tandipang terbatas, dan itulah yang membuatnya istimewa. Ia hanya mau hidup di muara-muara dangkal dan berlumpur, tempat air tawar dan air laut saling berbaur. Di Batui, rombongan ikan ini sering muncul di muara Kuala Luk Balantang, muara Sungai Batui, atau perairan Nonong. Di luar titik-titik ini, jarang sekali ada yang menemukannya di wilayah Kabupaten Banggai.
Bagi masyarakat Batui, tandipang lebih dari sekadar sumber protein. Ia adalah bagian dari identitas kuliner dan budaya. Setiap musim tandipang datang, rumah-rumah dipenuhi aroma masakan yang menggoda. Tetangga saling berbagi hasil tangkapan, dan makan malam berubah menjadi ajang cerita tentang hari itu di muara.
Kini, meski alat tangkap modern dan berbagai pilihan lauk telah hadir, tandipang tetap punya tempat di hati orang Batui. Tidak semua orang bisa mendapatkannya, dan itu membuat setiap hidangan tandipang terasa lebih berharga. Dari tungku kayu di dapur nenek hingga kompor gas di rumah modern, tandipang terus hadir—membawa rasa, aroma, dan kisah yang tak lekang oleh zaman.
