GAZA — Tangisan anak-anak di Gaza kini perlahan mereda. Bukan karena mereka tenang, tapi karena kehabisan tenaga. Dalam 72 jam terakhir, sedikitnya 21 anak meninggal dunia akibat kelaparan dan malnutrisi parah, menyusul krisis kemanusiaan yang terus memburuk di wilayah Palestina itu.
Data memilukan itu diungkapkan Kepala Rumah Sakit Al-Shifa, Mohammed Abu Salmiya, dalam keterangannya kepada media, Selasa (22/7/2025), dilansir AFP. Ia menyebutkan, kematian terjadi di beberapa rumah sakit besar yang masih beroperasi di Gaza, termasuk RS Al-Shifa di Kota Gaza, RS Syuhada Al-Aqsa di Deir el-Balah, dan RS Nasser di Khan Yunis.
“Kita sedang menuju angka kematian yang mengkhawatirkan akibat kelaparan yang menimpa rakyat Gaza,” ujarnya dengan nada cemas.
Situasi di lapangan semakin genting. Rumah sakit yang masih berdiri pun terus dibanjiri kasus baru malnutrisi, baik pada anak-anak maupun dewasa. Pasokan makanan, obat-obatan, dan air bersih sangat terbatas.
Blokade Membunuh dalam Diam
Sejak gencatan senjata enam minggu gagal diperpanjang, Israel memberlakukan blokade penuh terhadap Gaza pada 2 Maret 2025. Tak ada makanan, obat, atau bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk. Truk bantuan baru bisa kembali masuk secara terbatas pada akhir Mei. Namun, stok bantuan yang sebelumnya menumpuk saat gencatan senjata, kini telah habis.
Lebih dari dua juta penduduk Gaza kini hidup dalam krisis pangan paling buruk sejak perang dimulai pada Oktober 2023. Bahkan Direktur Program Pangan Dunia (WFP), Carl Skau, yang berkunjung ke Gaza awal Juli, menyebut situasi saat ini sebagai yang “terburuk yang pernah dilihatnya.”
Minggu lalu, badan pertahanan sipil Gaza melaporkan tiga bayi meninggal dunia akibat kelaparan dalam sepekan. Dan angka itu terus bertambah.
Desakan Global Kian Menguat
Tekanan internasional untuk menghentikan perang dan membuka jalur bantuan terus menguat. Puluhan negara, termasuk sekutu utama Israel seperti Inggris, Prancis, Australia, dan Kanada, telah mendesak gencatan senjata permanen, pembebasan sandera, serta dibukanya akses bantuan kemanusiaan tanpa syarat.
Namun, seruan global belum cukup menggugah perubahan nyata di medan perang.
Sementara itu, anak-anak Gaza — yang seharusnya bermain dan belajar — satu per satu meregang nyawa dalam diam. Mereka tidak mati karena peluru atau bom, tetapi karena perut kosong yang tak kunjung terisi.