SALING klaim pada objek eks tambak udang yang terletak di Kelurahan Sisipan, Kecamatan Batui, sudah berlangsung kurang lebih 5 tahun terkahir. Ini merupkan tuntutan terbaru setelah aksi yang sama pernah terjadi pada tahun 1999.
Seperti apa jejak penguasaan tanah tambak bagi investor, berikut penelusuran Banggainesia.
Adapun objek dimaksud dulunya adalah bekas Hak Guna Usaha PT. Banggai Sentral Shrimp sebelum kemudian di take over PT. Matra Arona Banggai (MAB) saat ini.
Tuntutan hingga pendudukan lahan yang kini terjadi, selain karena ada anggapan, PT. MAB mengantongi administrasi yang cacat, warga ingin lahan eks tambak udang itu bisa dikembalikan kepada pemilik asli paska berakhirnya HGU Banggai Sentral Shrimp.
Mengingat, kata warg penuntut,lahan yang mereka klaim adalah tanah leluhur yang dulunya dirampas secara paksa untuk dijadikan areal tambak udang.
Diakui memang lahan yang terletak di Kelurahan Sisipan itu dulunya memang sudah dipersiapkan untuk usaha penamanan modal asing yang bergerak di bidang pertambakan. Upaya itu dilakukan sejak tahun 1988.
Untuk pertama kali dalam perolehannya, 18 Agustus 1988 tentang pengadaan areal tambak udang kepada masyarakat pemilik tanah diawali oleh Tim Pemda TKT II Banggai yang dipimpin Drs Djar’un Sibay sebagai ketua Bappeda TKT II.
Usaha perolehan itu berlanjut 14 Februari 1989, untuk pertama kali diadakan pertemuan di Kantor Camat Batui, yang dihadiri Tim Pemda, Kepala Desa, dan Pemilik Tanah Calon Lokasi Tambak Udang.
Disebutkan kesepakatan harga antara perusahaan dengan pemiliki sebesar 1 juta rupiah per hektar atau Rp100/meter.
Nilai ini mangacu SK BKDH Tingkat II Banggai nomor: KAG. 4.1/635/6/1988 Tanggal, 13 Juni 1988 tentang penetapan harga dasar tanah yang berlaku dalam wilayah daerah TKT II Banggai.
Kesepakatan diambil dengan melihat kondisi lokasi tanah yang menurut tim saat itu, harga ditaksir 300 ribu – 400 ribu per hektar.
Atas dasar kesepakatan tersebut, sejumlah pemilik mengadakan transaksi secara langsung dengan pihak perusahaan dalam menerima ganti rugi atau penandatangan surat-surat perolehan.
Transaksi diawali dengan pengukuran lokasi oleh pemilik lahan didampingi aparat desa sekaligus pembuatan legalitas sebagai bukti peralihan hak.
Namun seiring waktu kembali ada pengakuan bahwa sebagain diantara warga ada yang belum mendapatkan ganti rugi, bahkan muncul pengakuan bahwa perusahaan telah melakukan penggusuran tanpa seizin pemilik asli yang kemudian dengan terpaksa melepas hak atas tanah. Dari sini kemudian masalah diatas objek terus bermunculan hingga saat ini.